Dukung Proyek Strategis Nasional, Warga Manggarai Barat Kedepankan Musyawarah
On Kamis, Februari 17, 2022
NTT, XBI – Hingga saat ini, masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) siap menjaga Sitkamtibmas untuk mendukung pembangunan daerah maupun pusat, khususnya proyek-proyek strategis nasional.
Seperti diketahui, pada tahun 2010, Bupati Fiidelis Peranda mengusulkan untuk perluasan Ibu Kota di lokasi hutan bowosie, Desa Guruntalo yang ditempati masyarakat seluas 150 hektar untuk pamukiman dan area pertanian.
“Masyarakat tidak mempersoalkan pihak Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOP LBF) membangun fasilitas atau infrastruktur pariwisata di lokasi yang sudah legal, asalkan tidak membangun di atas lokasi yang sudah ditempati oleh warga sejak lama,” kata Juru Bicara (Jubir) Kesatuan Masyarakat Racang Buka (KMRB), Stefanus Herson kepada awak media, Kamis, 17 Februari 2022.
Ia juga mengatakan, Pemerintah Daerah tidak pernah mengusir warga untuk keluar dari lokasi yang telah diduduki atau ditempati.
“Justru pemerintah terdahulu menjadikan daerah itu untuk pemukiman dan pertanian, buktinya lahirnya SKB 4 Menteri dan ada Panitia IP4T yang Ketuanya BPN Mabar,” pungkasnya.
Untuk diketahui, wilayah hutan yang terbentang dari batas Kota Labuan Bajo sisi barat sampai hutan lindung Mbeliling sisi timur ini berada dalam wilayah administrasi Kelurahan Wae Kelambu, Desa Gorontalo, Golo Bilas dan Nggorang.
Empat kelompok masyarakat yang terdiri dari kelompok Rade Sahe, Lengko Cowang, Racang Buka dan Golo Wae Nahi menolak pembangunan fasilitas tersebut, lantaran lahan tersebut merupakan lahan garapan yang selama ini menjadi ladang mata pencahariaan warga setempat dan terancam digusur dalam proyek pembangunan tersebut.
Hal senada dikatakan Kordinator Kesatuan Komunitas Masyarakat Racang Buka, Wihelmus Warung. Menurutnya, masyarakat mengakui bahwa mereka saat ini mendiami kawasan hutan. Namun bagi mereka itu adalah pilihan, karena tidak memiliki pekerjaan dan lahan untuk dijadikan tempat tinggal dan lokasi perkebunan.
Menurut Wihelmus Warung, dari empat kelompok warga, salah satu kelompok ada yang telah menempati area tersebut sejak tahun 1985, yaitu Golo Wae Nahi. Total masyarakat yang berada di lokasi itu berjumlah 375-635 lebih jiwa.
“Warga mengaku menempati lokasi tersebut sejak tahun 1985, 1999 sampai 2008. Artinya sebelum dan sesudah Kabupaten Mabar mekar dari Kabupaten Manggarai,” ungkap Wihelmus.
Ia menjelaskan, pada tahun 2010, Bupati Mabar, Fidelis Peranda mengusulkan 150 hektar untuk dijadikan lahan milik warga, sambil menunggu kebijakan dari pemerintah pusat.
“Menurut warga sekitar, sikap Bupati dalam pengusulan tersebut dinilai sebagai salah satu bentuk kekuatan warga yang berusaha mempertahankan lokasi hutan, meskipun sejak tahun 2004 setelah Kabupaten Mabar mekar, Bupati mendorong warga untuk keluar dari lokasi tersebut,” pungkasnya.
Pada tahun 2014, lanjut dia, pengakuan warga menerima surat keputusan empat Menteri, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri ATR BPN, Menteri Pekerjaan Umum, terkait tata cara penyelesaian penguasaan kawasan hutan oleh ulayat dan masyarakat.
“Pada tahun 2014, pemerintah sendiri yang melakukan sosialisasi, bahwa ada kepastian hukum. Sehingga membuat warga merasa nyaman,” jelasnya.
Menurut warga, kata Wihelmus, pada tahun 2014, Bupati menyampaikan (Bupati saat itu Gusti Dula-red) bahwa masyarakat harus standby, lantaran akan ada tim inventarisasi dalam waktu dekat akan turun dari kegiatan itu.
“Sehingga warga pada tahun 2015 menerima SK Bupati, sebagai tindak lanjut dari SKB Empat Menteri, yaitu SK Bupati Nomor 104 untuk tim pembentukan tim inventarisasi, sehingga saat ini warga memiliki peta wilayah,” bebernya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Komunitas Kacang Buka, Francis Dohos Dor mengatakan, hal yang dilakukan warga sekitar tetap mengedepankan musyawarah dan tidak melakukan aksi anarkisme.
“Warga menahan diri untuk tidak melakukan tindakan anarkisme terkait dengan hal tersebut. Mengedepankan cara-cara musyawarah dan membuka kesempatan kepada pengembang, Pemda dan Pusat terkait masalah tersebut,” kata Francis Dohos.
Francis Dohos juga memohon kepada semua pihak untuk tidak melakukan kegiatan apapun di lokasi sebelum adanya kejelasan status hukum terkait lahan tersebut. Apalagi masyarakat sekitar juga tetap menjaga proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah di wilayah Mabar.
“Mohon agar seluruh pihak tidak melakukan kegiatan-kegiatan apapun di lokasi, dikarenakan masih belum adanya kejelasan status hukum masalah tersebut. Masyarakat hingga saat ini siap menjaga sitkamtibmas untuk mendukung pembangunan di Mabar, khususnya proyek baik dari Pemda maupun pusat demi kemajuan wilayah Mabar,” ujar Francis Dohos. (*/red)